Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa.
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Dan di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter
(Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak, Media Indonesia, 21 Maret 2005.)
Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004
(Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim, Republika, 21 Maret 2005.)
Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005
Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
(Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak, Kompas, 15 Mei 2005.)
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.
(Lihat juga pembahasan tentang kasus ini pada Laporan HAM 2005 KontraS Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006.)
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin.
Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
* sengatan listrik: Amerika Serikat
* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
* rajam: Afganistan, Iran
Hukuman mati bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Dan di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Beberapa contoh kasus hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia:
1. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter
(Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak, Media Indonesia, 21 Maret 2005.)
Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004
(Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim, Republika, 21 Maret 2005.)
Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005.
2. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005
Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi.
(Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak, Kompas, 15 Mei 2005.)
3. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat controversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.
(Lihat juga pembahasan tentang kasus ini pada Laporan HAM 2005 KontraS Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006.)
4. Di tahun 2007 ini juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah.
Di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus hukuman mati yang masih terdaftar bahkan sudah dilaksanakan. Jadi, hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Yang menjadi alasan atas dilakukannya hukuman mati adalah pencegahan pembunuhan banyak orang di mana hukuman mati ini memberi efek jera bagi orang-orang lain yang mengetahuinya dan khususnya hal ini tidak lagi terulang oleh orang yang sama. Efek jera bukanlah cara yang paling bagus tetapi hukuman paling buruk yang mengarah kepada balas dendam di mana terdapat motif preventif, yakni agar tidak terulang lagi karena takut akan hukuman. Namun cara ini pun tidak terlalu efektif dalam masyarakat yang miskin.
Bahkan studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas yang terjadi tidak dapat dihentikan hanya sekedar dengan memfokuskan pada efek jera namun perlu dipertimbagkan hubungan erat kriminalitas dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat serta berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Selain itu dalam vonis hukuman mati, dapat terjadi kemungkinan kemungkinan kesalahan dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Di mana orang yang telah dieksekusi bukanlah yang bersalah atau menjadi kambing hitam dari pelaku sesungguhnya. Kesalahan inilah yag harus dihindari dan menjadi kelemahan dalam vonis hukuman mati. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak ada unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Namun pada kenyataanya banyak hal yang dari luar yang mempengaruhi keputusan-keputusan pengadilan di mana bukan karena tidak adanya kejujuran melainkan karena campur tangan dari orang-orang berpengaruh di dalamnya.
Dalam sejarah terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
* pancung kepala: Saudi Arabia dan Iran,
* sengatan listrik: Amerika Serikat
* digantung: Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura
* suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS
* tembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain
* rajam: Afganistan, Iran
0 komentar:
Posting Komentar